Senin, 24 Juli 2017

Mengenal Diri dan Mencintai Alam : Watu Lumbung


Dua tahun silam, kurang lebihnya lupa tahun berapa… aku diajak teman-teman se kelas di SMK untuk jalan-jalan ke daerah Bantul sambil reunian. Watu Lumbung kata temanku, ah entah mungkin nama sebuah situs sejarah atau apa, aku tidak begitu peduli, yang penting refreshing. Oke waktu itu hari minggu kita pergi ke sana. Sampai di jalan masuk perkampungan setelah jembatan besar di jalan parangtritis kami masih harus mencari. Taraaaa mbah google map yang menjadi tumpuan harapan kita berempat.
Ketemulah jalan masuk yang cukup untuk semobil, mantab karena memang ada plangnya, tapi kecil banget hampir hampir gak kelihatan. Well cus kita masuki jalan itu, naik dan naik, ndèdèl kalau orang jawa bilang.

Sepi..blas [red:sama sekali] tidak ada orang di sana.
Tapi kita nemu tempat asik di ketinggian. Waw pantai lho cahh!! kelihatan!!. Waktu itu masih jam 07.00 pagi jadi suasana masih sisa sunrise gitu. Setidaknya matahari masih anget dan menyehatkan.

Menikmati fota-foto, cekrak cerik. Wuah ini tempat kayak cafe tapi kita salah timing gumam saya waktu itu. Coba kalau pas sunset mestinya lebih bagus. Melihat lihat sekitar seperti ada cluster ditandai dengan bangunan yang rata-rata terbuat dari bambu atau kayu, tapi cluster apa saja aku yakin itu akan lebih menarik kalau ada penunggunya. Sekali lagi hanya ada plang kecil tulisannya juga sederhana.

Tetot…yang paling nyesek waktu itu karena membaca di sebuah plang nama bahwa ada cafe yang kalau kita bawa beberapa buku bisa dapat makanan gratis dan pagi itu cafenya tutup. Sepi. Salah timing beneran ini. Wah suatu saat harus ke sini lagi nih, janjiku pada diri sendiri. Tapi pasti nanti nanti sudah banyak orang yang tahu dan jadi tempat atau spot yang umum banget. Jaman sekarang [dua tahun lalu] tempat baru cepet ngehits.



Seiring berjalannya waktu. Waktu tidak diiringin juga tetep jalan. Saya sudah tidak lagi butuh yang namanya pelarian aneh dan mendadak. Bisa dikatakan lebih selektif karena kebahagiaan dan ketenangan jiwa Alhamdulillah sudah lumayan sembuh dari penat. Lumayan sembuh lho ya. Hahaa. Yesss buktinya aku nyempluk.

Minggu lalu teman segaweyan ngajakin survey karena beliaunya mau ada tamu Edutrip ke WatuLumbung. Oh yaaaa udah hampir setahun ini aku pindah gaweyan. Yesss tepat, pindah bidang sekaligus pindah bagian otomatis pindah secara jiwa dan raga. Pindah! Saat ini kerja di bidang yang lebih disuka dan dihobiin tapi bukan karena latar pendidikan apalagi ahli dan nggathok. Kembali ke Minggu lalu teman segaweyan ngajakin survey lokasi untuk calon tamunya beliau dari sekolahan di Jakarta. Finally hari Selasa 18 Juli 2017 akhirnya kami berdua pergi ke Watu Lumbung.

Keduakali
Untuk keduakalinya ke Watu Lumbung keduakalinya juga kebablasan. Yang betul adalah gang pertama dari belokan ke kiri. Dessss…naik naik yaps ketemu cafe yang dulu sepi…bukan bukan… ini beda.. oh sudah berubah… iya… oke gakpapa yang penting makan siang dulu di Kedai Wedangan. Kesan setelah duduk di kedai itu adalah etnik, ndeso dan otentik. Kami pesan Bakmi. Bayangkan siang-siang agak redup makan bakmi panas pake piring seng di atas bukit sambil lihat pemandangan pantai. Yaaa mungkin biasa aja, timing juga siang-siang enggak banget untuk memandangi matahari. Kali ini aku tidak bergumam salah timing lagi. Karena pas banget pas laper pas ada kedai, pas kedai buka lagi. Mas penjaganya ramah, kita mau bablas naik bukit saja sudah di-say hello-in, al hasil yaaa berhenti makan aja di sini nanti baru eksplore.

Selesai makan kita turun ke perengan / area bagian bukit yang posisinya di bawah persis kedai wedangan tempat kita makan. Saat kita masih makan di atas, terlihat mbah Boy yang sedang keduk-keduk atau menggali-gali sesuatu. Temanku sudah kenal mbah Boy dulu karena udah kenalan via telpon dan youtube. Proses kenalan yang sangat umum di era ini kekinian. Setelah menitipkan kendaraan karena mau turun jalan kaki lalu disambut oleh dua ekor banyak, banyak adalah jenis unggas seperti angsa tapi bukan angsa.

Kulonuwun mbah sapaku, sambil salim. Sedang sibuk mbah? Tanyaku lagi… iya sedang punya harapan ini jadinya sibuk, yaa kalau gak sibuk pasti sakit atau mati kata beliau.
Tuawwwawww!!
Bener juga, ya wes apik. Berpikir-pikir sambil masuk ke rumah karena sudah dipersilahkan.

Menemukan Kegelisahan
Terlihat beberapa anak muda yang sedang apa enggak jelas karena kita masuk di tengah ruangan setengah terbuka. Terlihat ruang sholat dengan almari berisi buku di sudut, dan rumah yang masih setengah terbuka karena pintu pintunya adalah gawangan pintu dan jendela yang belu didauni. Sambil dijelaskan mbah Boy tentang konsep watu lumbung, baru tau alau rupanya anak-anak muda itu tamunya Watu Lumbung. Teman saya terus eksplorasi sambil sedikit mencatat dan aku juga menimpali. Tapi mata pikiran dan perasaanku berkeliaran tidak karuan.
Makin ngobrol yang ada justru nggrembyang. Nggrembyang itu….mmm….semacam pemahaman yang hanya sedikit saja, ada gambaran tapi belum begitu jelas. Susah dijelaskan arti kata nggrembyang. Bahkan sesudah minum wedang sere pun masih nggrembyang. Okee yaAllah saya ikuti pelajaran dariMU hari ini.

Berteriak Tentang Cita-cita
Masih duduk di bagian tengah dari rumah yang bentuknya seperti limasan yang kemudian kami ketahui bahwa itu omah dolanan yang belum jadi. Terdengar 5 pemuda tadi satu satu meneriakkan kalimat-kalimat seperti harapan atau permintaan yang diikuti oleh aamiin-an kawannya. Mereka berbicara dalam bahasa jawa kadang berbahasa Indonesia. Ohya mbah boy ini kog logatnya enggak Jawa ya, tanyaku pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian ada seorang muda namanya mas Kentang seperti yang dipanggilkan oleh mbah Boy. Langsung Mas Kentang diperkenalkan kepada kami bahwa kami dari jogjakartour.com yang berkeinginan eksplore Watu Lumbung lebih jauh.

Waktu Luang
Punya waktu luang kan? Tanya mas Kentang… iyaa mas jawab kami… Setelahnya kami di ajak ke Lobby dan ruang-ruang lain yang posisinya berada lebih tinggi daripada kedai Wedangan. Gak nyangka ternyata makin ke atas makin bingung ternyata masih ada kedai satu lagi namanya lupa…waduh benar benar kudu punya waktu luang nih. Masih ada ruang ruang lain yang aduhai belum pernah ditemui sebelumnya. Padahal maunya target jam 16.00 kita sudah kelar, ahh biar saja let it flow.

Mengenal Diri dan Mencintai Alam
Yak sampailah kita di lobby, kami diminta menuliskan cita-cita di atas daun jati dengan spidol dan digantungkan dengan tali-tali yang dikaitkan di pegangan tangga masuk menuju ruang lain.
Tunggu!! aku masih menatap ruang terbuka yang dinamakan lobby ini. Potongan jalan dengan dapur sederhana lengkap dengan kompor dan perabotnya terletak dipinggir jalan lalu ada meja besar layaknya meja makan lengkap dengan kursinya satu set, sejajar dengan dapur.
Sambil menganga karena mendengar kata “snake handling” itu pengetahuan yang wajib diberikan kepada pengunjunga yang mengikuti activity di Watu Lumbung.
Sambil heran, sambil mengambil foto, sambil bergumam ~ke mana saja saya selama tiga tahun ini, seperti orang ngengleng atau ngeblank berkepanjangan, karena terakhir merasai keheranan yang ikhlas seperti ini waktu diajari materi tentang Kotagede di Omah UGM Jagalan~. Aku menaiki tangga naik menuju ruangan yang lebih lebar… dan yang kutemukan adalah ruangan terbuka…ruangan di alam…yang berpayung teduh oleh pohon jati. Ruang alami…dan tertata dengan apik, rapih dan dijaga kebersihannya, iyaa lho ada seorang ibu sedang menyapu seluruh daun jati yang jatuh. Ruang yang kata mas Kentang biasanya dipakai untuk seminar/workshop. Ada ruang lain di ujung pelataran itu dapur kecil dan angunan lain dari kayu yang disebut homestay atau tempat menginap kalau ada tamu di Watu Lumbung lengkap dengan alasan tata letaknya tidak akan kujelentrehkan di sini supaya kalian bisa ke sana sendiri. Sambil showing jalan kaki dijelaskan activity yang ada di kawasan Watu Lumbung. 

Ternganga-nganga aku merekam ke dalam ingatan semua yang dijelaskan mas Kentang sambil mengkomparasikan dengan konsep……mmm… ahhh… terlalu jauh kalau mau ngomong di sini. Ternyata sesederhana itu menjadikan alam sebagai parameter pengenalan diri. Dan selama beberapa tahun ini aku belum mengenal diri dengan baik, apalagi mau mencintai alam. Hm.. Masih ternganga-nganga dan manthuk-manthuk saja demi mendengar semua konsep yang konservatif di Watu Lumbung. 

bersambung ke #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar