Sabtu, 16 Juli 2022

Perempuan Penyelamat atau Penyesat Keluarga

Tragedi atau hal yang terjadi atau gagasan sering membuat penuh isi kepala. Kalau kata Raditya Dika hal itu bisa dirayakan dengan menulis. Oke mari kita coba. 

Salah seorang teman bercerita bahwa dampingannya tinggal di daerah bantaran sungai nan kumuh. Teman saya ini seorang pendamping sosial. Keluarga yang sejak tahun 2013 itu ia kawal karena secara ekonomi masuk garis merah kebawah.

Ibu bekerja sebagai pemulung, anak pertama masuk jenjang SMP, anak kedua SD dan si ragil masih balita. Ayah yang entah bekerja apa, terkadang pulang terkadang tidak. Sang ibu terpaksa satu dua kali menjual diri demi perut anak-anak kalau hasil memulungnya tidak cukup. Terlebih lingkungan tinggal mereka tidak jauh dari lokalisasi kelas rendah yang katanya sudah dibubarkan, ya mungkin masih ada sisa.

Rumah kontrakan di kawasan tak layak mukim terus diperpanjang karena keluarga asal dari kabupaten sebelah tidak meninggalkan warisan harta maupun benda. Itu pula yang memaksa mereka bertahan di kota dengan segala kesulitan.

Ekonomi menjadi pokok utama perkuat persoalan lain tumbuh bercabang. Proses bertahun-tahun untuk RT RW dapat memberikan surat rekomendasi secara administratif mendapat KTP.  Secara sosial keberadaan keluarga ini ditolak oleh masyarakat dan pengampu di wilayah setempat karena tidak suka, was-was dan cenderung merasa jijik.

Saat ini si sulung harus meneruskan pendidikan di sekolah swasta Muhammadyah di Kota Yogyakarta. Pihak sekolah memberikan solusi untuk mendapatkan beasiswa, dengan rekomendasi oleh pemangku di wilayah tempat tinggal. Keadaan seolah menambah volume dan berat di pundak keluarga rapuh ini. Surat dukungan biasanya diterbitkan kepada warga yang sering berkontribusi atau paling tidak rajin mengikuti kegiatan masyarakat. Jangankan bisa berkegiatan, hari ini anak tidak menangis lapar saja si ibu harus banting tulang dan kadang terpaksa menjajakan badan.

Kedua anak perempuan ibu yang beranjak remaja juga tidak luput dari resiko-resiko yang mengerikan. Mereka terlihat mengenakan celana ketat di atas lutut, entah karena tidak mampu atau karena hanya punya itu atau memang kebiasaan. Tindak kekerasan dalam keluarga juga tidak terelakkan, sering tiba-tiba ibu memukul kepala anaknya karena masalah yang timbul. Misalnya karena meninggalkan adiknya berusia 10 bulan di atas motor sendiri.

SiSulung besok senin harus masuk sekolah tapi belum bisa beli seragam & sepatu. Bantuan tunai dari pemerintah yang sejatinya untuk membeli kebutuhan sekolah ludes untuk bertahan hidup. Pembinaan, motivasi, penguatan sipitual, anak-anak remaja ini harus dibangun demi masa depan yang terang. 

Perempuan-perempuan dalam entitas ini berada pada dua sisi mata uang, berdiri menjadi penyelamat keluarga atau memiliki semakin tersesat.

===

Saya yakin keluarga dengan resiko kerusakan tinggi masih banyak ditemui di daerah yang terkenal istimewa ini.

Bagaimana pendapat rencang-rencang?

Adakah yg ingin menitipkan sesuatu untuk pendidikan mereka?

Atau adakah yg punya kenalan lembaga/NGO ketahanan keluarga yg bisa support?

Info detail DM IG @listarantika atau WA saya ya…


Jogja, 17 Juli 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar